Kisah nyata berikut ini datang dari sepasang suami istri yang harus membayar harga mahal akibat dari kata-kata mereka. Seperti apa kata-kata tersebut? Bagaimana dampaknya dalam keharmonisan rumah tangga mereka?
Jenita Simaremare bertemu dengan Feri Sihotang, suaminya, saat sedang dalam perjalanan menuju acara pernikahan kawan. Mereka merasa dipertemukan oleh Tuhan. Dua bulan semenjak berkenalan, mereka memutuskan untuk menikah.
Rupanya waktu 2 bulan belum cukup bagi mereka untuk mengenal kepribadian satu sama lain. Jenita adalah wanita yang cukup keras, sehingga kalau dinasihati suaminya, dia sering melawan. Sementara Feri pernah juga memukul Jenita. Eh, istrinya itu balas memukul sang suami.
Waktu berselang, dan Jenita pun mengandung. Keadaan itu tak juga membuat rumah tangganya adem ayem. Yang ada justru makin panas.
Suatu ketika, telepon bordering. Feri mengaku sedang tidak mood untuk mengangkat telepon, sementara Jenita tidak merasa perlu menjawab telepon itu karena yang menelepon adalah tantenya Feri. Walau hanya perkara sepele, adu mulut tak terhindarkan. Feri lalu berkata, "Kalau kayak begini terus, udahlah, lebih baik kamu keguguran aja!"
Jenita tersentak, "Tega betul suamiku berkata demikian terhadap darah dagingnya sendiri."
****
Suatu hari saat Jenita mau mandi pagi, ia menyadari ada yang salah dengan dirinya. Darah mengalir melewati kakinya! Rupanya apa yang dulu dikatakan suaminya menjadi kenyataan.
Jenita dan Feri sama-sama sedih. Feri mengaku bahwa saat dia mengucapkan kata "keguguran" itu, dia sedang dalam keadaan emosi. Dia tidak benar-benar mengharapkan hal itu terjadi pada istrinya. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Mereka hanya bisa menyesal dan menerima kenyataan pahit yang ada.
Jenita memaafkan dan menerima kembali Feri setelah melihat penyesalannya yang begitu dalam. Jenita juga jadi tersadar, bahwa mungkin sikap kasar suaminya tak lepas dari karakter Jenita yang keras pula dan suka melawan. Memang dalam sebuah pertengkaran yang dulu-dulu, pernah terlontar kata-kata begini dari Jenita: "Kalau tahu begitu, saya tidak mau nikah dengan kamu." Jenita juga menyesal dan bertekad untuk mencabut setiap perkataan negatif, karena akibat dari kata-kata itulah dia mengalami luka hati. Keputusan Jenita adalah, dia ingin memperkatakan berkat.
Sedikit demi sedikit, perilaku Feri mengalami perubahan. Dia sudah tidak memukul istrinya lagi. Tetapi perkataan menyakitkan belum sepenuhnya ditinggalkan Feri.
Suatu kali, Jenita sedang mengamat-amati kalender dan menghitung. Maksudnya, menghitung periode masa-masa subur untuk dapat mengetahui kehamilannya. Melihat tindakan Jenita, Feri menimpali, "Ngapain sih kamu ngitung-ngitung kayak gitu. Kamu tuh mandul!"
Wah, perkataan Feri benar-benar membuat Jenita putus asa dan kecewa. Jenita sudah mulai menerima suaminya apa adanya, tapi mengapa perlakukan seperti ini yang dia terima. Dalam hati, Jenita sebetulnya mengharapkan sang suami membelai kepalanya dengan lemah lembut; bukannya mencaci-maki seperti itu.
****
Setelah empat tahun menunggu kehamilan kedua, secercah harapan muncul bagi Jenita. Dia telat haid. Dengan berseri-seri, Jenita mengabarkan hal ini kepada suaminya.
"Kamu hamil?" tanya Feri, tidak percaya.
"Iya Pak, aku hamil," jawab Jenita sambil menunjukkan alat tes kehamilan yang menunjukkan dua buah garis.
"Umur kamu itu kan sudah 39 tahun," kata Feri. "Hamil? Kamu mimpi di siang bolong!"
Betapa sakit hati Jenita mendengar respon suaminya. Namun Jenita tidak marah, karena dia ingat perkataan seorang hamba Tuhan yang pernah didengarnya. "Kita tidak boleh menyimpan kebencian, karena itu akan menjadi batu sandungan, yang menghalangi kita untuk menerima berkat dari Tuhan," begitu kata-katanya.
Jenita memegang baik-baik perkataan tersebut. Jenita menepis setiap kebencian yang mungkin bisa terpendam dalam batinnya. Alasannya sederhana, Jenita ingin agar selama proses mengandung ini, dia tidak menyimpan benci kepada suaminya, sehingga saat anaknya kelak lahirpun, akan datang sukacita.
****
Nyatanya, Jenita memang benar-benar hamil. Tuhan mengabulkan doanya. Namun di usia kehamilan 8 bulan 2 minggu, masalah muncul.
Jenita merasakan sesak napas. Dia dilarikan ke rumah sakit. Di sana Jenita merasa seakan-akan nyawanya akan hilang. Jenita dan Feri panik.
"Jangan ambil nyawaku, Tuhan. Aku belum sempat lihat anakku," ucap Jenita waktu itu.
Dokter menghampiri Feri dan mengatakan bahwa nyawa istri dan anaknya tidak bisa tertolong. "Bayi di dalam kandungan itu telah keracunan air ketuban ibunya," kata dokter.
Feri sangat terpukul. "Mungkin ini akibat dari perkataan saya yang dulu," pikirnya.
Akhirnya, Feri membuat perjanjian dengan Tuhan. "Tuhan, kalau anak dan istri saya selamat, saya tidak akan mabuk-mabukan lagi. Saya tidak akan lagi memukuli istri saya. Saya akan bertobat. Saya akan rajin ke gereja."
Kondisi Jenita semakin memprihatinkan. Tensinya mencapai 226/124. Dalam medis, kondisi itu seharusnya telah mencabut nyawa Jenita.
Jenita berada di ujung ajal. Dalam perjuangannya bergelut dengan penyakit, di ranjang, dia mendengar suatu suara yang mengatakan, "Buka matamu, Jenita. Lawan penyakit itu. Kamu pasti sembuh!"
Di situlah dia tersentak. "Ya Tuhan, saya percaya," ucap Jenita dalam hati. "Waktu saya keguguran, waktu saya mengalami hal-hal yang tidak baik, Tuhan tetap tolong saya."
Di titik itulah Jenita meminta lagi belas kasihan Tuhan atasnya. "Engkau luar biasa, Tuhan. Tangan-Mu yang berlubang paku, sanggup menyelamatkan aku saat ini juga."
Keajaiban terjadi.
Dengan kuasa Tuhan, masa-masa kritis Jenita pun lewat. Dokter menyatakan bahwa kondisinya sudah siap untuk dioperasi.
Feri mengecup kening istrinya dan berkata, "Ma, maafin Papa, ya."
Operasi pun berlangsung. Tak lama kemudian dokter memberitahukan Feri bahwa anaknya telah lahir dan sehat.
"Puji Tuhan!" seru Feri.
Rasa syukur melimpah dari hati Jenita yang terdalam. Rajutan tangan Tuhan kini nyata di hadapannya, yakni seorang bayi yang telah ia lahirkan. Terlebih lagi setelah suaminya berkata kepadanya, "Ma, ternyata kamu itu istri yang luar biasa!"
Jenita jelas kaget. Orang sekeras suaminya bisa mengalami perubahan drastis karena sebuah keajaiban.
Jenita Simaremare bertemu dengan Feri Sihotang, suaminya, saat sedang dalam perjalanan menuju acara pernikahan kawan. Mereka merasa dipertemukan oleh Tuhan. Dua bulan semenjak berkenalan, mereka memutuskan untuk menikah.
Rupanya waktu 2 bulan belum cukup bagi mereka untuk mengenal kepribadian satu sama lain. Jenita adalah wanita yang cukup keras, sehingga kalau dinasihati suaminya, dia sering melawan. Sementara Feri pernah juga memukul Jenita. Eh, istrinya itu balas memukul sang suami.
Waktu berselang, dan Jenita pun mengandung. Keadaan itu tak juga membuat rumah tangganya adem ayem. Yang ada justru makin panas.
Suatu ketika, telepon bordering. Feri mengaku sedang tidak mood untuk mengangkat telepon, sementara Jenita tidak merasa perlu menjawab telepon itu karena yang menelepon adalah tantenya Feri. Walau hanya perkara sepele, adu mulut tak terhindarkan. Feri lalu berkata, "Kalau kayak begini terus, udahlah, lebih baik kamu keguguran aja!"
Jenita tersentak, "Tega betul suamiku berkata demikian terhadap darah dagingnya sendiri."
****
Suatu hari saat Jenita mau mandi pagi, ia menyadari ada yang salah dengan dirinya. Darah mengalir melewati kakinya! Rupanya apa yang dulu dikatakan suaminya menjadi kenyataan.
Jenita dan Feri sama-sama sedih. Feri mengaku bahwa saat dia mengucapkan kata "keguguran" itu, dia sedang dalam keadaan emosi. Dia tidak benar-benar mengharapkan hal itu terjadi pada istrinya. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Mereka hanya bisa menyesal dan menerima kenyataan pahit yang ada.
Jenita memaafkan dan menerima kembali Feri setelah melihat penyesalannya yang begitu dalam. Jenita juga jadi tersadar, bahwa mungkin sikap kasar suaminya tak lepas dari karakter Jenita yang keras pula dan suka melawan. Memang dalam sebuah pertengkaran yang dulu-dulu, pernah terlontar kata-kata begini dari Jenita: "Kalau tahu begitu, saya tidak mau nikah dengan kamu." Jenita juga menyesal dan bertekad untuk mencabut setiap perkataan negatif, karena akibat dari kata-kata itulah dia mengalami luka hati. Keputusan Jenita adalah, dia ingin memperkatakan berkat.
Sedikit demi sedikit, perilaku Feri mengalami perubahan. Dia sudah tidak memukul istrinya lagi. Tetapi perkataan menyakitkan belum sepenuhnya ditinggalkan Feri.
Suatu kali, Jenita sedang mengamat-amati kalender dan menghitung. Maksudnya, menghitung periode masa-masa subur untuk dapat mengetahui kehamilannya. Melihat tindakan Jenita, Feri menimpali, "Ngapain sih kamu ngitung-ngitung kayak gitu. Kamu tuh mandul!"
Wah, perkataan Feri benar-benar membuat Jenita putus asa dan kecewa. Jenita sudah mulai menerima suaminya apa adanya, tapi mengapa perlakukan seperti ini yang dia terima. Dalam hati, Jenita sebetulnya mengharapkan sang suami membelai kepalanya dengan lemah lembut; bukannya mencaci-maki seperti itu.
****
Setelah empat tahun menunggu kehamilan kedua, secercah harapan muncul bagi Jenita. Dia telat haid. Dengan berseri-seri, Jenita mengabarkan hal ini kepada suaminya.
"Kamu hamil?" tanya Feri, tidak percaya.
"Iya Pak, aku hamil," jawab Jenita sambil menunjukkan alat tes kehamilan yang menunjukkan dua buah garis.
"Umur kamu itu kan sudah 39 tahun," kata Feri. "Hamil? Kamu mimpi di siang bolong!"
Betapa sakit hati Jenita mendengar respon suaminya. Namun Jenita tidak marah, karena dia ingat perkataan seorang hamba Tuhan yang pernah didengarnya. "Kita tidak boleh menyimpan kebencian, karena itu akan menjadi batu sandungan, yang menghalangi kita untuk menerima berkat dari Tuhan," begitu kata-katanya.
Jenita memegang baik-baik perkataan tersebut. Jenita menepis setiap kebencian yang mungkin bisa terpendam dalam batinnya. Alasannya sederhana, Jenita ingin agar selama proses mengandung ini, dia tidak menyimpan benci kepada suaminya, sehingga saat anaknya kelak lahirpun, akan datang sukacita.
****
Nyatanya, Jenita memang benar-benar hamil. Tuhan mengabulkan doanya. Namun di usia kehamilan 8 bulan 2 minggu, masalah muncul.
Jenita merasakan sesak napas. Dia dilarikan ke rumah sakit. Di sana Jenita merasa seakan-akan nyawanya akan hilang. Jenita dan Feri panik.
"Jangan ambil nyawaku, Tuhan. Aku belum sempat lihat anakku," ucap Jenita waktu itu.
Dokter menghampiri Feri dan mengatakan bahwa nyawa istri dan anaknya tidak bisa tertolong. "Bayi di dalam kandungan itu telah keracunan air ketuban ibunya," kata dokter.
Feri sangat terpukul. "Mungkin ini akibat dari perkataan saya yang dulu," pikirnya.
Akhirnya, Feri membuat perjanjian dengan Tuhan. "Tuhan, kalau anak dan istri saya selamat, saya tidak akan mabuk-mabukan lagi. Saya tidak akan lagi memukuli istri saya. Saya akan bertobat. Saya akan rajin ke gereja."
Kondisi Jenita semakin memprihatinkan. Tensinya mencapai 226/124. Dalam medis, kondisi itu seharusnya telah mencabut nyawa Jenita.
Jenita berada di ujung ajal. Dalam perjuangannya bergelut dengan penyakit, di ranjang, dia mendengar suatu suara yang mengatakan, "Buka matamu, Jenita. Lawan penyakit itu. Kamu pasti sembuh!"
Di situlah dia tersentak. "Ya Tuhan, saya percaya," ucap Jenita dalam hati. "Waktu saya keguguran, waktu saya mengalami hal-hal yang tidak baik, Tuhan tetap tolong saya."
Di titik itulah Jenita meminta lagi belas kasihan Tuhan atasnya. "Engkau luar biasa, Tuhan. Tangan-Mu yang berlubang paku, sanggup menyelamatkan aku saat ini juga."
Keajaiban terjadi.
Dengan kuasa Tuhan, masa-masa kritis Jenita pun lewat. Dokter menyatakan bahwa kondisinya sudah siap untuk dioperasi.
Feri mengecup kening istrinya dan berkata, "Ma, maafin Papa, ya."
Operasi pun berlangsung. Tak lama kemudian dokter memberitahukan Feri bahwa anaknya telah lahir dan sehat.
"Puji Tuhan!" seru Feri.
Rasa syukur melimpah dari hati Jenita yang terdalam. Rajutan tangan Tuhan kini nyata di hadapannya, yakni seorang bayi yang telah ia lahirkan. Terlebih lagi setelah suaminya berkata kepadanya, "Ma, ternyata kamu itu istri yang luar biasa!"
Jenita jelas kaget. Orang sekeras suaminya bisa mengalami perubahan drastis karena sebuah keajaiban.
Semenjak itu kehidupan rumah tangga Feri dan Jenita tak lagi seperti dulu. Jenita belajar untuk menundukkan diri dan menuruti suaminya. Demikian juga Feri, yang berjanji kepada Tuhan untuk bertobat dan meninggalkan tabiatnya yang lama. Kini yang ada di tengah-tengah mereka adalah rasa kasih sayang yang begitu terpancar dari satu sama lain. Jenita juga sudah bisa merasakan belaian yang selama ini ia rindukan.
"Kalau kita mengeraskan hati, kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa bersama Tuhan. Tetapi, ketika kita mau mengakui kesalahan kita dan memperkatakan kata-kata yang benar, kita akan mengalami hal yang luar biasa bersama Tuhan," kata Jenita menutup kisah nyatanya.
Sumber Kesaksian:
Jenita Simaremare dan Feri Sihotang
"Kalau kita mengeraskan hati, kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa bersama Tuhan. Tetapi, ketika kita mau mengakui kesalahan kita dan memperkatakan kata-kata yang benar, kita akan mengalami hal yang luar biasa bersama Tuhan," kata Jenita menutup kisah nyatanya.
Sumber Kesaksian:
Jenita Simaremare dan Feri Sihotang
Keajaiban yg begitu luar biasa,Tuhan mampu menolong org2 yg membutuhkan pertolongan...
ReplyDeleteSebab Tuhan rela dipaku dikayu salib demi menyelamatkan umat nya..
Luar biasa Tuhan memulihkan umatnya dengan caranya yang ajaib
ReplyDeleteLuar biasa Tuhan memulihkan umatnya dengan caranya yang ajaib
ReplyDelete